.






Biografi Gus Dur…Bapak Demokrasi


Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional. Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004). Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya. Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)

Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya. Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara. Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara. Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” -Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim) Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU
Pada awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Menjadi Presiden RI ke-4
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Gus Dur,
Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4

Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.

Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan. Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia. Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar. Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini. Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate. Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur
All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs. Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
* Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.
* Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.

* Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.

Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan. Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
* Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

* Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

* Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu
Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)

* Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)

* Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan
dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)

* Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)

* Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)

* Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)

* Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

Penghargaan-penghargaan lain:
* Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)

* Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan
antar-agama di Indonesia (1993)

* Bapak Tionghoa Indonesia (2004)

* Pejuang Kebebasan Pers


Selamat Jalan Gus Dur

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.



Englis version

Brief biography, Mr.-Pluralist Democracy
President Kiai Haji Abdurrahman Wahid, known as Gus Dur was born in Jombang, East Java, on September 7, 1940. Gus Dur is the first son of six children from a very respectable family in the Muslim community in East Java. Grandfather of his father is K.H. Asyari Hashim, the founder of Nahdlatul Ulama (NU), while his maternal grandfather, KH Bisri Syansuri, is the first boarding school teacher who teaches classes on women. Father Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, was involved in the Nationalist Movement and became Minister of Religious Affairs in 1949. His mother, Mrs. Hj. Sholehah, is the daughter of the founder of Pondok Pesantren Denanyar Jombang. In addition to Gus Dur, his brother Gus Dur is also a figure of national figures. Based on family genealogy, Wahid claimed to have Chinese blood that is of the descendants of Tan Kim Han who is married to Tan A Lok, siblings Raden Patah (Tan Eng Hwa), founder of the Sultanate of Demak. Tan A and Tan Eng Hwa Lok is the son of Princess Campa, daughter of China which is a concubine Raden UB V (Suara Merdeka, 22 March 2004). Gus Dur had studied at Al Azhar University in Cairo-Egypt (not done) for 2 years and continued his studies at the University of Baghdad-Iraq. Completed the study, Wahid went home to Indonesia and joined the Institute for Research, Education and Economic and Social Information (LP3ES) in 1971. Gus Dur's plunge in the world of journalism as the 'intellectuals' progressive-minded Muslims who are social democrats. At the same time, Wahid called to get around the pesantren and madrasas throughout Java. This is done in order to keep the traditional values of boarding schools is not eroded, at the same time develop the pesantren. This is due at the time, boarding schools trying to get funding from the government by adopting the government curriculum. Career KH Abdurrahman Wahid continued to crawl and become a writer nTo Tempo magazine and newspaper Kompas. His article was well received and he began to develop a reputation as a social commentator. With the popularity of it, he got many invitations to give lectures and seminars, make him have to commute between Jakarta and Jombang, where Wahid lived with his family. Despite having a successful career at that time, Gus Dur still find it hard to live only from one source of income and where he worked to earn additional income by selling peanuts and deliver ice to be used in business Ice Candle wife (Barton.2002. Biography of Gus Dur, LKiS , page 108)

Not Being Sick Devoted Barriers
In January 1998, Gus Dur was attacked by a stroke and was rescued by a team of doctors. However, as a result of health conditions and vision President this 4th deteriorate. Apart from a stroke, his health problems allegedly caused by hereditary factors also caused a close blood relationship between her parents. In the physical limitations and kesehatnnya, Wahid continued to devote themselves to society and the nation despite having to sit in a wheelchair. The death of Gus Dur on December 30, 2009 This makes us lose the figure of the teacher of the nation. A prominent people who dares to speak what is the name of justice and truth in the pluralism of life in the archipelago. During his life, Gus Dur devoted himself for the sake of the nation. It is manifested in thought and action is almost in the dimensions of its existence. Gus Dur was born and raised in the middle atmosphere of the traditional Islamic mewataki NU, but the flared head of modern thought. In fact, he was accused of too liberal in thought about the religious. In the New Order era, when the military was greatly feared, Gus Dur's body tide against the dual function of ABRI. That attitude was demonstrated when he became president without a doubt return the soldiers to barracks and separate the police from the army. After no longer served as president, Gus Dur was returned to its original life. Although already a partisan, in his capacity as Chairman of the Council of Shura deklarator and PKB, he attempted to re-emerge as the father of the Nation. As her figure before becoming president. Although he never became Chairman of the Nahdlatul Ulama (NU), a largest Islamic organization in Indonesia with members of about 38 million people. But he is not sectarian people. He was a statesman. Not infrequently he was opposed to anyone even his own supporters mass in stating a truth. He was a Muslim leader who spirited nationality. "It does not matter any religion or tribe. If you can do something good for everyone, people never ask what your religion "-Gus Dur-(expressed again by Hermawi Taslim) In a full commitment to a pluralistic Indonesia, Wahid emerged as the man who is full of controversy. He is known as a defender of the true figure. He dared to speak and said that according to his thinking that he considered correct, although it will be opposed by many people. Is it minority or majority. Defense to minority groups perceived as a courageous thing. This reputation is very prominent in the final years of the New Order era. As soon as the prominence of this role so that he even accused more closely with minority groups than the majority community of Muslims themselves. Though he is a cleric who by some congregations even been regarded as a guardian.

Career Organization NU
In the early 1980s, Gus Dur plunge care of Nahdlatul Ulama (NU) after three times ditawarin by his grandfather. In recent years, Wahid managed to reform the body so as to make his name more and NU popular among NU. At the National Congress of 1984, Gus Dur was asked as Chairman of the NU. During his first term, Wahid focus on reforming the education system of boarding schools and succeeded in improving the quality of boarding education system so it can compete with secular schools. During the mass organization leading the NU, Wahid critic of the Suharto government. In March 1992, Gus Dur is planning to hold a Great Council to celebrate the anniversary of the NU-66 and repeat the statement of support for NU against Pancasila. Wahid's planned event was attended by at least one million members of the NU. However, Suharto hinder the event, ordered police to return the bus containing members of NU when they arrived in Jakarta. However, the event was attended by 200,000 people. After the show, Gus Dur send a letter of protest to the Suharto claimed that NU was not given the opportunity to show that Islam is open, fair and tolerant. By the General Assembly of 1994, Gus Dur himself nominated for a third term. Hearing this, Suharto did not want to Wahid was elected. In the weeks before the General Assembly, supporters of Suharto, Habibie and Harmoko such as campaigning against the re-election of Gus Dur. When the national consultation was held, where the election closely guarded by the armed forces in the act of intimidation. There are also efforts to bribe members of the NU for not selecting it. However, Gus Dur was elected permanent chairman of the NU for a third term. During this time, Gus Dur start political alliance with Megawati Sukarnoputri of the Indonesian Democratic Party (PDI). Megawati who uses his father's name has great popularity and plans to keep pressing the Suharto regime.

Being President of the Republic to-4
In June 1999, the PKB party to participate in legislative elections arena. PKB won 12% of the vote with the PDI-P won 33% of the vote. With the victory party, Megawati predict will win the presidential election in the General Session of the Assembly. However, PDI-P does not have a full majority, thus forming an alliance with PKB. In July, Amien Rais, forming the Central Axis, a coalition of Muslim parties. Central Axis began to nominate Gus Dur as the third candidate in the presidential election and collective commitment to the PDI-P began to change. On October 19, 1999, the Assembly rejected Habibie's accountability speech, and he withdrew from the presidential election. A few moments later, Akbar Tanjung, Golkar chairman and chairman of the House of Representatives (DPR) said Golkar would support Gus Dur. On October 20, 1999, the Assembly re-assembled and began to elect a new president. Abdurrahman Wahid was elected President of Indonesia and then to-4 with 373 votes, while Megawati only 313 votes. Not happy because their candidates failed to win the election, supporters of Megawati and Gus Dur rampage realize that Megawati should be elected as vice president. After convincing the generals Wiranto for not participating in the selection of vice president and create a PSA to support Megawati, Gus Dur also managed to convince Megawati to participate. On October 21, 1999, Megawati took part in the selection of vice president and defeated Hamzah Haz of the PPP.

Gus Dur,
Devotion As President of the Republic to-4
After the fall of the New Order regime in 1998, Indonesia experienced a threat of disintegration of the country's sovereignty. Conflict erupted in some areas and the separatist threat more real. Facing it, Wahid did a soft approach towards areas raging. Against Aceh, Wahid gave the option of autonomy and not independence referendum like the East Timor referendum. A softer approach to the Aceh done Gus Dur by reducing the number of military personnel in the Country of the Veranda of Mecca. Neutralization of Irian Jaya, is Gus Dur on December 30, 1999 by visiting the capital of Irian Jaya. During his visit, President Abdurrahman Wahid managed to convince the leaders of Papua that he encourages the use of the name Papua. As a Democrat I can not block the will of the people of Aceh to self-determination. But as a republican, I am obliged to maintain the integrity of the unitary state of Indonesia.

President Abdurrahman Wahid in an interview with Radio Netherlands
True ... Gus Dur is the leader who laid the foundations for peace in Aceh. In Gus Durlah government, peace talks between the Free Aceh Movement (GAM) and Indonesia into the open. Whereas, before, talks with GAM something taboo, so the chances of peace such as closed meetings, especially when up to accommodate the demands for independence. While a number of national leaders criticized its approach to Aceh, Wahid still choose to take the settlement means that more sympathetic: GAM leaders invited to sit at a table to discuss a peaceful settlement in Aceh. In fact, in secret, Gus Dur send Bondan Gunawan, Acting State Secretary, meet the GAM commander Abdullah Syafii in the interior of Pidie. In the Gus Dur also, for the first time created the Humanitarian Pause. In addition to efforts in the container perdamaaian NKRI, Wahid called a pioneer in reforming the military to get out of the political space. In the field of pluralism, Wahid became Mr. "Chinese" Indonesia. He is a national figure who dared to defend the Chinese to get the same rights as citizens. On March 10, 2004, some Chinese leaders Semarang give awards KH Abdurrahman Wahid as the "Father of Chinese". This is not out of service Wahid announced that the Chinese New Year (Lunar) becomes an optional holiday that later fought for the National Holidays. This action followed the withdrawal of ban on the use of Chinese characters. And on the merit of Gus Dur is also the government finally endorsed Kongfucu as the official religion of the 6th in Indonesia. In addition to dare to defend the rights of ethnic Chinese minority, Gus Dur is also the first Indonesian supreme leader expressed an apology to the families of dead and tortured PKI (between 500,000 to 800,000 inhabitants) in the cleaning movement PKI by the New Order government. In this case, Gus Dur was a hero of anti-discrimination. He became the inspiration of religious leaders to see the diversity of ethnicity, religion and race in Indonesia, some parts of the nation's wealth that should be preserved and incorporated as a major nation-building force. In that capacity and 'ambisi' him, President Abdurrahman Wahid, often asking the controversial opinion. When the President of the Republic to-4, he did not flinch reveal something that he believes is true even though many people find it difficult to understand and even opposed it. Although his voice was often mired in controversy, but the sound was not rare trip out to be the steering currents of social, political and cultural future. He was a fearless stating something he believed was right. In fact, he was also unperturbed states something different with the opinion of many people. If diselisik, truth is indeed often seem radical and controversial. Although opinions are always right - to mention often not true in the eyes of others - is something that is difficult argue that many of the opinion that directs the flow of people traveling on the right track in accordance with national objectives in the Preamble of the 1945 Constitution. For some people, Gus Dur's thoughts had gone too far exceed the times. When he spoke of pluralism at the beginning of the beginning of reforms, new people began to realize the importance of the spirit of pluralism in building a diverse nation in the now. And if we meniliki in his thinking, then we'll get that majority opinion is far from personal or political interest group. He dared to stand in front for the interests of others or other groups who diyakninya true. In fact, often as opposed to voice his own group. Also, even when he became president, that office sepetinya mengeremnya unable to express something. Apparently, he forgot a soft political office for something he believed was right. So when he became president, many people find them funny because often times made the comments that invite controversy. Not one month became president, Gus Dur has sparked opinions ears redden most members of Parliament. At the hearing before the legislature, whose members segaligus as members of the Assembly, which recently chose it, Gus Dur said that lawmakers like kindergarten kids. During the President of Indonesia, Gus Dur has been criticized because of frequent overseas visits so dijuliki "President Pewisata". In 2000, there are two scandals that befell President Gus Dur is a scandal Buloggate and Bruneigate. In May 2000, the National Logistics Board reported that $ 4 million disappeared from Bulog cash inventory. Gus Dur is a masseuse person claiming that he was sent by Gus Dur to Bulog to take the money. Although money has been restored, Gus Dur enemies accused him of involvement in this scandal. At the same time, Wahid was also accused of saving money $ 2 million for himself. The money represents donations from the Sultan of Brunei to aid in Aceh. However, Wahid failed to account for these funds. The scandal has called the scandal Bruneigate. Two scandals "Buloggate" and "Brunaigate" into a weapon for Gus Dur's political enemies to drop his presidential office. On July 20, Amien Rais stated that the Special Session of the Assembly will be brought forward on 23 July. TNI lose 40,000 soldiers in Jakarta and also reduces the tanks pointed toward the Presidential Palace as a form of appointment power. Gus Dur and then announce the implementation of the decree which contains (1) dissolution of Parliament, (2) to restore sovereignty to the hands of the people by speeding up the elections within one year, and (3) freeze the Golkar Party as a form of resistance to the Special Session of the Assembly. But the decree did not get the support and on 23 July, the Assembly formally dismiss Wahid and replace him with Megawati Sukarnoputri. That's the end of the journey Wahid became president for 20 months. During the 20 months to lead, at least Gus Dur has helped lead the nation to walk towards the reform process better. Thinking and policies that keep the Unitary Republic of Indonesia in the container kemajukan democracy in accordance with the 1945 Constitution and Pancasila is a service that is not forgotten.

The Things Positive from Gus Dur
All Religions INSIST on peace. From this That We Might think the religious struggle for peace is simple ... but it is not. The deep problem Is That people use religion wrongly in pursuit of victory and Triumph. This sad fact then leads to conflict with the WHO people have different beliefs. Former DPP Chairman of PKB, Hermawi Taslim who for 10 years with Gus Dur participate in all activities revealed three principles in life he always Gus Dur to tell the people closest.

* First: There will always side with the weak.
* Second: Anti-discrimination in any form.
* Third: Never hate people, despite being hurt.

Gus Dur is a national leader who fought at the front against religious radicalism. When religious radicalism is fast-fast blows, Gus Dur challenge boldly. He even prepared his own troops when faced against religion-induced violence. Gus Dur is opposed to all violence in the name of religion. He also warrior who knows no barriers. Gus Dur in his government had to remove the practice of discrimination in Indonesia. There seems excessive if the state and people of Indonesia to provide the highest award of dharma and devotion. Just like Gus Dur would receive an award as the father of Pluralism and Democratization in Indonesia.

Honorary doctorates and Other Awards
International arena, Gus Dur many earned his Honorary Doctorate (Doctor Honoris Causa) in the field of humanitarian, pluralism, peace and democracy from various educational institutions including:
* Honorary Doctorate from Jawaharlal Nehru University, India (2000)
* Honorary Doctorate from Twente University, Netherlands (2000)
* Honorary Doctorate of Law and Political Science, Economics and Management Science, and Science
Humanities from the Pantheon Sorbonne University, Paris, France (2000)
* Honorary Doctorate of Philosophy in Law from Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
* Honorary Doctorate from Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000) * Honorary Doctorate
from Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
* Honorary Doctorate from Soka Gakkai University, Tokyo, Japan (2002)
* Honorary Doctorate of Humanities of the University Netanya, Israel (2003)
* Honorary Doctorate in Law from Konkuk University, Seoul, South Korea (2003)
* Honorary Doctorate of Sun Moon University, Seoul, South Korea (2003)

Other awards:
* Award of the Egyptian government of Islamic Da'wah (1991)
* Magsaysay Award from the Philippine government for his efforts to develop relations
inter-religion in Indonesia (1993)
* Mr Indonesian Chinese (2004)
* Press Freedom Fighters

Congratulations Gus Dur Road
Gus Dur died on Wednesday, December 30, 2009, at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, at 18:45 due to various disease complications, especially kidney problems, he suffered a long time. Before his death he had to undergo hemodialysis (dialysis) routine. A week before he had moved to Jakarta after being treated in Jombang in East Java travel. Gus Dur was buried in Jombang East Java Goodbye Gus Dur. Thank you for your dedication and contribution to the people and nation. Services-your righteousness Democracy and Solidarity in the struggle between religious in Indonesia we will never forget. Hopefully charitable-services-worship have a place that 'great'.

we apologize if the translation in English is not good to

mohon maaf jika Translate Englisnya gg sempurna,,
ma'lum pake google translate


sumber : www.immasjid.com

Janji Nabi Muhammad Kepada Umat Kristiani

Jumlah umat Muslim dan Kristen melebihi 50 persen jumlah penduduk dunia ini. Jika saja mereka hidup damai, kita sudah setengah jalan menuju perdamaian dunia. Satu langkah kecil yang bisa kita ambil untuk menjalin kerukunan antara umat Islam dan Kristen adalah dengan menceritakan ulang kisah-kisah dengan pesan positif dan berusaha tidak saling menjelek-jelekkan.

Saya ingin mengingatkan baik kepada umat Islam maupun Kristen tentang janji yang pernah diucapkan Nabi Muhammad kepada umat Kristen. Pemahaman akan janji ini bisa mengubah cara umat Islam memperlakukan orang Kristen karena umat Islam biasanya menghormati hadist Nabi dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan mereka.

Pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine mengunjungi Nabi Muhammad untuk meminta perlindungan. Nabi menyanggupi dengan memberi mereka piagam hak-hak yang saya kutip di bawah ini secara keseluruhan. Biara St. Catherine terletak di kaki Gunung Sinai di daerah yang menjadi wilayah Mesir saat ini dan merupakan biara tertua di dunia. Koleksi manuskrip Kristen mereka luar biasa, hanya kalah oleh koleksi Vatikan. Biara ini juga merupakan salah satu situs warisan dunia dan memiliki koleksi ikon-ikon Kristen tertua, menjadikannya museum kekayaan sejarah Kristen yang tetap terjaga keamanannya selama lebih dari 1,400 tahun di bawah perlindungan Muslim.

Berikut janji Nabi Muhammad kepada St. Catherine:

Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di mana pun mereka berada, kami bersama mereka.

Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya demikian juga pendeta dari biaranya. Tak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum Muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya mereka sesungguhnya adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki Muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini.

Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”

Kalimat pertama dan terakhir perjanjian ini sangat penting. Dua kalimat inilah yang menjadikan perjanjian ini universal dan abadi. Nabi Muhammad menyatakan bahwa Muslim harus hidup berdampingan secara damai dengan orang Kristen di mana pun mereka berada. Kalimat ini dengan tegas dinyatakan untuk meniadakan kemungkinan adanya upaya di masa depan untuk membatasi perjanjian ini hanya berlaku pada St. Catherine. Dengan memerintahkan umat Muslim untuk menaati perjanjian ini hingga hari kiamat, perjanjian ini juga melarang usaha pembatalan apapun di masa mendatang.

Hak-hak tersebut di atas adalah hak-hak yang tak bisa dicabut.

Nabi Muhammad menyatakan bahwa umat Kristen, secara keseluruhan, adalah sekutunya dan beliau mengecam perlakuan buruk terhadap mereka sebagai pelanggaran terhadap perintah Tuhan.

Aspek utama yang ada dalam piagam ini adalah umat Kristen menikmati hak-hak tersebut tanpa syarat. Cukup bagi perjanjian ini status mereka sebagai orang Kristen. Mereka tidak diminta untuk mengubah agama mereka,mereka tidak diharuskan membayar, dan mereka tidak mempunyai kewajiban apa pun. Ini adalah piagam hak tanpa kewajiban.

Dokumen ini memang bukan piagam modern hak-hak asasi manusia. Tetapi meski ditulis pada tahun 628 M, dokumen ini jelas-jelas melindungi hak atas properti, kebebasan beragama, kebebasan untuk bekerja, dan perlindungan terhadap keamanan individu.

Saya tahu sebagian pembaca mungkin berpikir, “terus, kenapa?”

Jawabannya sederhana saja: mereka yang ingin melanggengkan ketidakrukunan antara umat Islam dan Kristen memfokuskan diri pada masalah-masalah yang bisa memecah belah kedua umat ini dan menciptakan konflik. Tetapi jika sumber sejarah seperti janji Nabi Muhammad kepada umat Kristen ini yang dimunculkan, jembatan yang menghubungkan kedua umat ini bisa terbangun.

Perjanjian ini bisa mengilhami umat Islam untuk menafikan intoleransi dalam masyarakat dan berusaha berbuat kebaikan kepada umat Kristen yang mungkin saja merasa ketakutan terhadap Islam atau Muslim.

Ketika saya menengok sumber-sumber keislaman, saya banyak menemukan contoh-contoh toleransi dan inklusivitas beragama. Contoh-contoh itu membuat saya ingin menjadi orang yang lebih baik. Saya yakin kemampuan untuk mencari dan berbuat kebaikan ada dalam setiap diri manusia. Ketika kita menolak kecenderungan untuk berbuat baik ini, berarti kita menolak asas kemanusiaan kita sendiri.

Di tahun baru ini, saya berharap kita semua dapat meluangkan waktu untuk mencari sesuatu yang positif, dan pantas dihargai di dalam nilai, budaya dan sejarah orang lain.


- DR. MUQTADER KHAN-*

* Dr. Muqtedar Khan adalah Direktur Program Studi Islam di University of Delaware dan peneliti di Insitute for Social Policy and Understanding. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground seizin Altmuslim.com.

sumber versi englis : http://www.aljazeera.com/news/articles/39/Prophet-Muhammads-promise-to-Christians.html#comments


Allahumma Shalli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad..


Laman